Max Weber tak sepakat dengan Karl Marx yang menempatkan basis ekonomi sebagai struktur utama terciptanya kehidupan sosial. Weber menganggap Marx mengabaikan ide-ide keagamaan karena terlanjur menempatkan segalanya dalam kerangka determinisme ekonomi, yakni segala hal yang bersifat ideal sekadar dianggap sebagai kedok refleksi kepentingan material (baca: ekonomi) semata. Determinisme ekonomi tersebut menjelaskan bahwa kepentingan materi yang menentukan ideologi, atau dapat pula dikatakan: unsur materilah yang melahirkan ideologi.
Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904-05), Weber mencoba mematahkan determinisme ekonomi Marx lewat penjelasan Protestan sebagai sebuah gagasan keagamaan memiliki pengaruh terhadap munculnya “semangat kapitalisme”. Dalam karya tersebut, Weber mencoba membantah pemikiran Marx tentang kapitalisme—walaupun secara tak langsung Weber sebenarnya juga melengkapi pemikiran Marx tentang bagaimana sistem kapitalisme muncul dan berkembang.
Pemikiran Weber dengan Marx memang berbeda meskipun sekilas saling berkaitan. Jika Marx mengemukakan teori kapitalisme, maka Weber mengemukakan teori rasionalisasi. Proses rasionalisasi yang dijelaskan Weber adalah bagaimana agama memainkan peran sentral dalam pertumbuhan ekonomi rasional di Barat, dalam hal ini calvinisme atau doktrin pendeta Protestan John Calvin. Kata “rasionalime” sendiri digunakan Weber sebagai suatu istilah seni, yakni guna menerangkan suatu sistem ekonomi yang tidak didasarkan pada tradisi, melainkan disesuaikan sebagai upaya pencapaian keuntungan.
Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menegaskan bahwa yang menjadi kajiannya adalah “individu”, bukannya kelompok atau gereja. Upaya Weber menjelaskan konsep work in a calling dalam Protestan dilakukannya dengan kembali melihat sejarah Eropa abad ke-16. Pembacaan atas kondisi Eropa abad itu membuat Weber melibatkan agama-agama yang ada di berbagai belahan dunia; penelaahan ditujukan untuk membongkar sekaligus mengetahui ide [agama] manakah yang mendorong seseorang menerapkan ekonomi modern atau kapitalisme.
Pengkajian terhadap berbagai agama di dunia menggiring Weber melihat abstraksi religius yang lebih implisit: sejauh mana tujuan akhir dari para penganut agama tersebut? Dari situ, sampailah Weber pada simpulan bahwa calvinisme sebagai sebuah iman memiliki pengaruh besar bagi lahirnya kapitalisme. Doktrin Calvin menerangkan upaya dan tujuan yang luar biasa berbeda dari agama-agama lainnya sekalipun tetap memuat konsep yang sama seperti ‘keselamatan’ (salvation) dan ‘takdir’ (predestination). Ketekunan, sikap hemat, ketenangan hati, dan kebijaksanaan merupakan tiga doktrin yang dipercaya penganut calvinisme bakal menghantarkannya pada kebahagiaan sejati.
Ekspresi menuju kebahagiaan sejati memaksa para penganut calvinisme mengikuti doktrin itu sebagai sebuah panggilan (a calling). Dalam praktiknya, calvinisme melanjutkan apa yang sebelumnya dicetuskan tokoh utama Reformasi Gereja Martin Luther tentang “kerja sebagai panggilan”. Kerja yang dimaksudkan bukanlah kerja yang semata-mata menjadi tujuan ekonomi, melainkan sebuah upaya penyucian diri untuk tujuan akhir spiritual. Kerja menjadi kewajiban dan keharusan, sedangkan meninggalkan kerja adalah dosa. Ini sebagaimana doktrin tentang “dosa” milik berbagai agama lainnya; dosa bila tak mendengarkan suara Tuhan, dosa bila melanggar apa yang menjadi pantangan agama, dan dosa bila tak menjalankan apa yang menjadi kewajiban menurut agama.
Pada akhirnya, menjalankan kewajiban (doktrin) menjadi suatu keharusan demi “Kerajaan Surga”. Mengisi setiap waktu dengan tiga doktrin di atas akan memberi ruang bagi Tuhan untuk mempertimbangkan jiwa-jiwa para calvinis: diselamatkan atau dihukum. Secara tak langsung, upaya pertimbangan perbuatan baik [pahala] dan pelanggaran kewajiban [dosa] menjadi bentuk administrasi khusus sebagaimana etika modern, yakni nilai rasionalitas, kalkulabilitas, regulasi individu, dan keuntungan.
Praktik keseharian para calvinis dalam usahanya meraih surga berimplikasi terhadap lahirnya ekonomi rasional [kapitalisme]. Inilah bagian estetis dari calvinisme yang dibungkus dalam tiga doktrin untuk tujuan pencapaian jiwa sempurna di akhirat, namun justru menggandeng kapitalisme sebagai rekanan sosial di dunia. Keberhasilan para penganut calvinisme di akhirat diukur dari keberhasilan yang diperolehnya di dunia. Upaya menghindari “kemiskinan” di dunia secara langsung mengharuskannya menjadi “kaya”. Keadaan miskin menunjukkan ketidakmampuan seseorang yang juga menunjukkan kemalasan seseorang.
--------------------------------------------------------------------------
Secara garis besar, terdapat tiga doktrin utama calvinisme. Pertama, ketekunan. Ketekunan mengharuskan seseorang bekerja keras setiap waktu, ini sekaligus menjelaskan mengapa menjadi miskin adalah dosa. Kedua, bersikap hemat. Sikap ini berimplikasi pada kemampuan untuk mengendalikan dan membatasi diri dari segala hal yang tak diperlukan. Ketiga, ketenangan hati dan kebijaksanaan. Kedua sikap tersebut, terutama terrepresentasi lewat “sedekah”. Bersedakah pada mereka yang betul-betul membutuhkan akan membuat jiwa si pemberi menjadi tenang. Sedekah akan membantu jiwa lain untuk tumbuh, bangkit, berbahagia, dan bersyukur. Kemampuan seseorang dalam bersedekah juga menjelaskan keberhasilannya yang telah dicapai karena ia, pada akhirnya, berguna bagi orang lain. Tindakan tersebut tentu turut menjadi praktik penyucian diri sebagai “persiapannya” kelak.