Notification

×

Iklan

Iklan

Tanpa Korupsi Tambang, Rakyat Papua Bisa Digaji Rp20 Juta Perbulan

Agustus 14, 2024 | Agustus 14, 2024 WIB Last Updated 2024-08-13T22:03:06Z

KBRN, Suaralapago.news_Mengutip pernyataan Mafud MD, pada media CNN Indonesia edisi 20 Desember 2023, soal terbukanya kemungkinan setiap warga Negara di Indonesia mendapatkan gaji 20 juta perbulan dari keuntungan sektor pertambangan jika tidak dikorupsi, tentu menggelitik pemikiran publik. Lalu bagaimana dengan Papua yang merupakan salah satu daerah pertambangan terbesar di Indonesia, jika tidak dikorupsi?. Tentu saja tidak menutup kemungkinan rakyat Papua bisa mendapatkan gaji 20 juta perbulan cuma-cuma dari hasil tambang.

Terutama melihat potensi sumber daya alam di Papua yang sangat melimpah pada sektor pertambangan, maka tidak menutup kemungkinan, jika korupsi pada sektor ini dapat diberantas, maka rakyat Papua akan menjadi bagian dari masyarakat ekonomi kelas atas di Indonesia.

Detikfinace edisi 19 Juni 2023 menyebutkan, urutan ke dua tambang emas terbesar di dunia ada di Indonesia tepatnya di Kabupaten Mimika, Papua Tengah yang bernama Grasberg. Tambang emas dan tembaga ini dimiliki oleh Freeport-McMoRan.

Produksi di Grasberg dilaporkan yakni sekitar 5 juta pon tembaga dan 5.000 ons emas setiap harinya. Grasberg asal Indonesia ini pernah menghasilkan produksi paling besar di dunia di tahun 2001 yakni sebesar 3,5 juta ons.

Ungkapan Mahfud MD senada dengan pendapat Mantan ketua KPK Abraham Samad dalam media CNBC edisi 30 April 2023, soal tiap warga Indonesia bisa memperoleh Rp 20 juta tiap bulan secara cuma-cuma jika celah korupsi di bidang pertambangan bisa diatasi.

Lalu bagaimana faktanya di Papua?. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di Kabupaten Mimika (salah satu daerah pertambangan terbesar di Papua) pada tahun 2022 mencapai 14,28 persen, dari angka pada tahun sebelumnya 14,17 persen. Atau pada angka absolutnya dari 30.950 naik menjadi 31.580 di tahun 2022.

IPM Papua Barat dan Papua jauh di bawah rata-rata IPM nasional, yakni 72,91. Berdasarkan data Kemendagri data 2022, IPM Papua Barat berada di level 65,89 lebih baik daripada IPM Papua yang sebesar 61,39. Meski begitu, secara keseluruhan, IPM di Tanah Papua masih sangat rendah.


Eks Pejabat KPK Laode Syarif, berfoto bersama penulis Rostini Anwar. (foto-Rostini Anwar)​
Sangat ironis melihat fakta tersebut, dimana rendahnya tingkat kesejahterahan masyarakat justru terjadi di salah satu daerah penghasil tambang terbesar di dunia yaitu di Papua. Lalu kemana larinya hasil dari tambang tersebut?

Dilansir dari situs PTFI (Freeport Indonesia), perusahaan itu mengaku menyetorkan sekitar Rp3,35 triliun keuntungan bersih daerah pada 2023. Dalam situs resmi PTFI tersebut, disebutkan uang itu diberikan kepada Pemprov Papua Tengah sebesar Rp839 miliar, Pemkab Mimika Rp1,4 triliun, dan beberapa kabupaten lainnya masing-masing Rp160 miliar. Namun apakah dampaknya bagi ekonomi masyarakat sudah terlihat?

Besarnya perputaran uang di sektor pertambangan seringkali dijadikan ladang korupsi bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sederet permasalahan seperti tumpang tindih lahan dan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat menyebabkan sengketa, yang pada akhirnya menimbulkan fakta bahwa benang kusut pada sektor pertambangan di Papua harus segera dituntaskan.

Eks Komisioner KPK Laode M Syarif yang ditemui penulis disela-sela kegiatan nya memberikan pelatihan di Swiss Bell Hotel, Jayapura 29 Juli 2024, menyebutkan bahwa terdapat enam provinsi dengan kasus tindak pidana korupsi tertinggi di Indonesia. Di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Riau, Banten, Papua dan Papua Barat. Fakta tersebut semakin menunjukkan masalah korupsi tambang bisa membocorkan keuangan Negara yang dapat berdampak bukan saja pada keuangan daerah namun hingga peningkatan kesejahterahan masyarakat nya.

Dari pemaparan Syarif, KPK juga banyak menemukan tambang Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) yang tidak menjalankan kewajiban perpajakannya. KPK mendorong para pengusaha untuk melanjalankan kewajibannya sebagaimana peraturan yang berlaku di Indonesia.

Lahan pertambangan seyogianya dikuasai oleh negara yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk itu perlu ada hitungan kebutuhan rill dari berbagai macam sumber daya alam untuk menentukan luas wilayah yang bisa dieksplorasi dan pada akhirnya bisa diekspor.

Sudah saatnya pemerintah membangun tata kelola pertambangan yang baik, terutama aspek pembinaan dan pengawasan tambang. Terkait pengelolaan tambang, masyarakat adat papua tidak bisa lagi dijadikan objek pembangunan tapi sudah seharusnya menjadi subjek daripada proses pembangunan itu sendiri.

Pelibatan masyarakat pemilik hak ulayat dalam pertambangan Freeport merupakan persoalan menahun yang muncul terus-menerus. Agustus 2022 misalnya, keluarga besar Naktime (salah satu tokoh masyarakat adat di Timika) mengajukan protes karena proses penyusunan dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) Freeport tidak melibatkan mereka sebagai salah satu kelompok yang paling terdampak.

Protes serupa juga terus bermunculan, salah satunya dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme pada akhir Januari 2024. Merujuk riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), aktivitas Freeport memiliki dampak meluas, bukan hanya menyasar pemilik ulayat, tapi sekitar 6.484 jiwa.

Dari berbagai riset di Fisip Uncen, banyak yang menemukan fakta pengakuan dari masyarakat adat di Timika, bahwa masyarakat adat pemilik hak ulayat di wilayah konsensi PTFI tidak dilibatkan dalam perpanjangan kontrak bahkan hingga Tahun 2061.

Masyarakat papua memiliki kepercayaan bahwa lingkungan alam adalah milik nenek moyang mereka yang harus dijaga dan dilindungi. Mereka harus dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan terkait pertambangan dan memastikan bahwa manfaat dari kegiatan pertambangan tersebut dapat dirasakan secara adil oleh masyarakat adat papua.

Kerjasama yang dibangun antara masyarakat adat, perusahaan dan pemerintah adalah kunci untuk mengatasi konflik sosial dan menciptakan dampak positif bagi masyarakat setempat. Hingga saat ini keharmonisan antara pengelola pertambangan dari perusahaan, masyarakat hingga pemerintah cenderung masih sangat minim.

Pengawasan publik serta transparansi lalu lintas dana mesti dimaksimalkan salah satunya melalui pemanfaatan UPTD (Unit Pelaksanaan Teknis Daerah) setiap instansi, kemudian system pengelolaan keuangan harus jelas menggunakan virtual account atau meningkatkan digitalisasi keuangan, misalnya bisa menjadi suatu solusi yang wajib dipertimbangkan.

Dari aspek hukum harus mendorong publikasi informasi yang jelas dan terbuka mengenai kegiatan pertambangan, termasuk laporan keberlanjutan, dampak lingkungan, dan kontribusi ekonomi kepada masyarakat setempat.

Pemerintah harus memastikan perlindungan terhadap lingkungan dan hak-hak masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat mengawasi dan mengevaluasi dampak dari kegiatan pertambangan dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kebijakan hukum diimplementasikan.

Untuk menyelesaikan permasalahan seperti penambang liar, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para pengusaha tambang, tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat sencara sendiri-sendiri, namun harus dengan kesadaran menyeluruh dari berbagai pihak. Dukungan simbiosis mutualisme yang biasa terjadi antara penguasa dan pengusaha harus dikurangi.

Kebiasaan penguasa menambah penghasilan-penghasilan tidak tetapnya dari pengusaha, kemudian pengusaha dibiarkan melanggar peraturan-peraturan yang ada. Segala kriminalisasi semacam itu harus segera dibenahi. Masyarakat harus tegas mengawasi, aparat penegak hukum dan pemerintah harus berkomitmen untuk mengatasi hal ini. Sehingga ungkapan tanpa korupsi tambang, rakyat bisa digaji 20 juta perbulan, bukan hanya isapan jempol.

 
Penulis: Rostini Anwar., S.I.Kom., M.I.Kom (Dosen FISIP Universitas Cenderawasih)
×
Berita Terbaru Update