Notification

×

Iklan

Iklan

Konflik Bersenjata, Puluhan Ribu Warga Nduga Tidak bisa Kunakan Hak Pilih pada Pilkada Serentak 2024-2029

Desember 19, 2024 | Desember 19, 2024 WIB Last Updated 2024-12-19T06:25:52Z
wa
West Papua, 19 Desember 2024@ 0s0:31 WP00
#
Nabire, JB – *Konflik bersenjata yang terjadi di Kabupaten Nduga, Parovinsi Papua Pegunungan, sejak 2018 membuat puluhan ribu pemilih tidak abisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak 2024. Pasalnya, ribuan pemilih Nduga masih mengungsi ke kabupaten lain. Selain itu, pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 pada 27 November 2024 lalu hanya diselenggarakan di Kenyam, Ibu Kota Kabupa,,,,,3,,ten Nduga.*

Pada 27 November 2024 lalu, di halaman tempat tinggalnya, Yaban4#☆○☆ ( ☆☆☆☆(,,(,,,,,(,,((zzz,,,zzzzzzz(ssssssssazz 455zzszsz44gal Wandikbo (31) berkumpul bersama puluhan perempuan pengungsi Nduga lainnya. Mereka menyiapkan bahan acara bakar batu, demi bersama-sama menanti hasil pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 di Nduga.

Namun, persiapan bakar batu itu bukan dilakukan di Nduga. Pada hari pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 itu, Yabanggal Wandikbo dan ribuan pengungsi asal Kabupaten Nduga lainnya tetap bertahan di di Kampung Sekom, Distrik Muliama, Kabupaten Jayawijaya. Tempat itu berjarak sekitar 78 kilometer dari Kabupaten Nduga, kampung asal Wandikbo.

Kampung Sekom adalah tempat 679 jiwa warga asal Nduga yang mengungsi sejak eskalasi konflik bersenjata antara TNI/Polri dan kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB terjadi di Kabupaten Nduga pada Desember 2018. Ratusan pengungsi asal Nduga itu kesulitan menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada Serentak 2024, karena Komisi Pemilihan Umum atau KPU Nduga tidak membuka Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di Kabupaten Jayawijaya.

Pulang ke Nduga adalah satu-satunya cara bagi Yabanggal Wandikbo dan para pengungsi Nduga untuk menggunakan hak pilihnya. Tapi pada hari pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 itu, mereka ada di Jayawijaya.

Yabanggal Wandikbo dan para ibu itu bukannya tidak tahu atau tidak peduli jika 27 November 2024 adalah hari pemungutan suara pilkada. Mereka justru menyiapkan acara bakar batu itu karena tahu itulah hari pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Nduga.

Para pengungsi Nduga itu membuat bakar batu dan berkumpul untuk menunggu hasil pemungutan suara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Nduga. Pada Pilkada Serentak 2024, dua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Nduga yang bersaing, yakni pasangan nomor urut 1, Nawia Gwijangge – Obed Gwijangge, dan pasangan nomor urut 2, Dinar Kelnea – Yoas Beon.

“Hari ini kami masak, duduk sama-sama kami sedang menunggu [hasil pemungutan suara ini], jadi kami masak, duduk sama-sama,” kata Wandikbo kepada Jubi.

Tak memilih sejak 2019

Sejak mengungsi pada 2018, Wandikbo belum pernah menggunakan hak pilihnya. Ia tak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2019, Pemilu 2024, maupun Pilkada Serentak 2024.

“Saya sampai dua kali pemilihan tidak pernah ikut coblos [dan] isi di noken. Cuma, kami berdoa siapa yang naik [akan] urus kami. Sampai detik ini, tidak ada. Harapan Bupati yang baru buka akses supaya kami pulang,” ujarnya.

Yabanggal Wandikbo bukan satu-satunya pengungsi asal Nduga yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Serentak 2024. Di honai kompleks Sekolah Teologi Atas atau STA Tom Bozeman, Kelurahan Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya, Jubi bertemu keluarga Meli Kamaringgi pada 4 Desember 2024 lalu.

Sejak mengungsi Meli Kamaringgi dan istrinya belum pernah menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019, Pemilu 2024, maupun Pilkada Serentak 2024. Kamaringgi dan istrinya mengaku penggunaan hak pilih mereka akan diwakili para tokoh adat maupun tokoh intelektual.

Akan tetapi, Kamaringgi mengaku tidak ada pembicaraan saat memutuskan bagaimana “wakil” itu akan menggunakan hak suara para pemilih seperti dirinya. Ia merasa situasi dan kondisinya di dalam pengungsian di Jayawijaya membuatnya tidak berdaya, dan ia merasa hak pilihnya dirampas paksa.

Kamaringgi tidak punya cukup uang untuk membayar ongkos tiket pesawat dari Wamena ke Kenyam, Ibu Kota Kabupaten Nduga, agar bisa mencoblos di sana. Ia bahkan tidak punya cukup uang untuk membeli jatah kursi di angkutan mobil ke Kenyam yang biayanya mencapai Rp1 juta.

Ketika ia diberitahu hak pilihnya akan digunakan oleh “wakil” para pengungsi Nduga yang pulang ke Nduga, ia pun hanya bisa pasrah. “Tidak ada kumpul-kumpul, tidak ada bicara sama-sama. Saya tidak tahu. Kami tidak pernah isi [surat suara] dari tangan kami ini [ke dalam noken]. Intelektual [dan] orang-orang yang isi [di noken],” kata Kamaringgi.

Harapan para pengungsi Nduga seperti Yabanggal Wandikbo dan Meli Kamaringgi untuk bisa menggunakan hak suaranya pada Pilkada Serentak 2024 pupus setelah Komisi Pemilihan Umum atau KPU Nduga memutuskan tidak menyediakan TPS Khusus bagi pengungsi Nduga di luar Nduga.

“Kami kecewa berat tidak bisa memilih. [KPU Nduga] harus kasih kami TPS Khusus. Seharusnya saya yang isi di noken,” ujar Wandikbo.

Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar mengatakan ada sekitar 3.459 pengungsi Nduga di Wamena kehilangan hak suara saat Pilkada Serentak 2024. “[Saat] Pemilu dan Pemilihan Presiden 2019 dan 2024, ada upaya dari negara melalui KPU untuk memberikan hak [pilih] mereka. [Para pengungsi itu] dibawa ke Habema [wilayah Jayawijaya di perbatasan antara Nduga dan Jayawijaya]. Tapi [pada pilkada] tidak ada,” kata Anum pada Jumat (13/12/2024).

Anum mengatakan penyediaan TPS Khusus diatur Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Sistem Informasi Data Pemilih. PKPU itu mengatur bahwa pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS asal akan menggunakan hak pilihnya di lokasi khusus. Lokasi khusus/TPS khusus itu meliputi rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan, panti sosial atau panti rehabilitasi, relokasi bencana, atau daerah konflik seperti Nduga.

“Masa sistemnya tidak disiapkan? Bahkan Pilkada 2024 ini menjadi jauh lebih buruk, karena mereka [pengungsi Nduga] sama sekali nggak bisa menggunakan haknya,” ujar Anum.

Nasib puluhan ribu pemilih sama

Jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Nduga pada Pilkada 2024 sebanyak 97.982 orang pemilih. Mereka tersebar di 248 kampung dan 32 distrik (satuan administrasi pemerintahan setingkat kecamatan).

KPU Nduga mendapatkan hibah daerah senilai Rp74 miliar untuk pelaksanaan Pilkada 2024, termasuk untuk membuka 285 unit Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 32 distrik di Nduga, melayani para pemilih di sana.

Tapi tidak semudah itu menyelenggarakan pemungutan suara di Tanah Papua, apa lagi di Nduga yang sudah enam tahun dilanda konflik bersenjata. Pada akhirnya, TPS pilkada di Kabupaten Nduga hanya dibuka di Distrik Kenyam, Ibu Kota Nduga.

Di 31 distrik lainnya, tidak ada TPS yang dibuka pada 27 November 2024. Akibatnya, puluhan ribu pemilih dalam DPT Kabupaten Nduga tidak bisa menggunakan hak pilihnya secara langsung.

Saat diwawancarai pada 24 November 2024, tiga hari menjelang pemungutan suara Pilkada Serentak 2024, Ketua KPU Nduga, Yosekat Kogeya mengakui pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 terpaksa dipusatkan di Kenyam karena alasan keamanan.

Kogeya mengatakan pemungutan suara yang dipusatkan di Kenyam itu didasarkan kesepakatan bersama pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nduga, pimpinan partai politik, Pemerintah Kabupaten Nduga, TNI/Polri, KPU Jayawijaya, dan Bawaslu Jayawijaya. Menurutnya, kesepakatan bersama itu dibuat pada awal November 2024.

“Jadi masyarakat di tempat pengungsian di Wamena maupun [masyarakat di] Kabupaten [Nduga] itu perwakilan mereka yang akan menyampaikan kesepakatan mereka dari setiap distrik, setiap kampung masing-masing. Hak mereka dalam bentuk kesepakatan di Kenyam. Pada 27 November 2024. Kami [juga] tidak [sediakan] TPS khusus atau berikan kesempatan kepada masyarakat kita yang ada di tempat pengungsian,” kata Kogeya.

Panitia Pemilihan Distrik Kroptak, Intanus Gwijangge mengatakan pemusatan pemungutan suara di Kenyam memakai sistem noken perwakilan membuat warga Nduga kesulitan memakai hak pilihnya. “[Dalam] DPT Distrik Kroptak, [ada] 2.368 orang [dari] enam kampung. Yang mewakili hadir di TPS [yang ada di Kenyam] berjumlah 580 orang,” kata Intanus Gwijangge melalui layanan pesat WhatsApp pada Rabu (18/12/2024).

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu Papua Pegunungan, Fredy Wamo mengatakan pemusatan pemungutan suara di Kenyam telah membuat warga kehilangan hak pilihnya. Wamo mengatakan sistem noken perwakilan memang berpotensi memicu perselisihan, karena perebutan suara “wakil” distrik/kampung/pengungsi oleh para kandidat.

Wamo mengatakan pihaknya telah mengingatkan kabupaten-kabupaten di Papua Pegunungan yang menerapkan sistem noken. Penerapan sistem noken itu harus mengikuti Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1774 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota.

Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar mengatakan penerapan sistem noken di Kabupaten Nduga pada Pilkada Serentak 2024 tidak sesuai petunjuk teknis itu.

“Sistem noken itu [ada] petunjuk teknisnya. Dalam sistem noken, mereka [pemilih] ada di tempat [mereka terdaftar sebagai pemilih dalam DPT], bukan [wakil mereka] diutus ke Kenyam. Tidak ada sistem noken yang bilang [TPS] boleh [dipindahkan] dari satu tempat pindah ke tempat lain, [lalu pemungutan suara pakai] perwakilan,” kata Anum.

Harapan kepada pemenang

Direktur Yayasan Sekretariat Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua atau SKKMP, Theo Hesegem mengatakan puluhan ribuan warga Nduga—baik warga Nduga yang menjadi pengungsi di kabupaten lain maupun warga Nduga yang tak mengungsi namun tak bisa datang ke Kenyam pada 27 November 2024—memang tak bisa menggunakan hak pilih mereka secara langsung. Bagi Hesegem, masalah itu ditimbulkan kegagalan negara menyelesaikan konflik bersenjata di Nduga.

“Seharusnya kalau mereka [negara] menganggap orang Papua [dan secara khusus warga Nduga] adalah bagian dari warga negara [Indonesia] kan harus diselesaikan [konflik bersenjata],” kata Hesegem.

Hesegem mengkritik kebijakan pemerintah yang masih melakukan pengiriman pasukan TNI/Polisi ke Nduga.“Masyarakat Nduga tidak bisa kembali [ke daerah] kecuali daerah Nduga itu aman betul. Warga Nduga keluar ini kan ada operasi militer. [Selama masih ada] operasi militer [dan konflik bersenjata masyarakat tidak bisa kembali dan beraktivitas],” kata Hesegem.

Pada akhirnya, Pilkada Serentak 2024 digelar untuk memberi kesempatan kepada para warga untuk menentukan pemimpin daerahnya. Setiap warga tentu memiliki harapan kepada siapapun yang memenangi pilkada.

Bagi pengungsi Nduga seperti Yabanggal Wandikbo, harapan itu sederhana saja. “Kami menanti dua kandidat, siapa yang naik itu [seharusnya] urus kami punya nasib,” ujarnya.

Ia juga punya harapan besar buat siapa pun yang terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Pegunungan. “Gubernur [dan] bupati harus bicara masalah kami, supaya kami bisa pulang. Harus ada orang yang bicara masalah kami. Kami tunggu itu. Kami berdoa salah satu [yang] jadi bupati [Nduga] lalu urus nasib kami kasih pulang kami ke kampung halaman kami,” ujarnya.

Pengungsi lainnya, Meli Kamaringgi juga berharap Bupati Nduga yang baru nantinya lebih memperhatikan nasib mereka.“Kami harapkan salah satu bupati yang naik berusaha urus kami pulang dan tarik kembali TNI/Polri,” ujarnya.

Yabanggal Wandikbo dan Meli Kamaringgi sudah dikecewakan karena tak bisa memakai hak pilihnya tentu tak mau dikecewakan siapapun pun yang memenangi pilkada itu. (*)
×
Berita Terbaru Update