Notification

×

Iklan

Iklan

KPU Yahukimo Terobos Aturan, Hasil Tabulasi Manual Dipaksakan

Desember 07, 2024 | Desember 07, 2024 WIB Last Updated 2024-12-07T10:18:52Z
Foto (Istimewa) KPU Kabupaten Yahukimo Saat Rapat Pleno


Latar Belakang

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi Indonesia, di mana rakyat diberikan hak untuk memilih pemimpin daerah mereka secara langsung. Proses penyelenggaraan Pilkada harus dilakukan dengan adil, transparan, dan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk memastikan integritas dan legalitas pemilu. Namun, apa yang terjadi di Pilkada Kabupaten Yahukimo, Papua, memunculkan keraguan terhadap akuntabilitas dan transparansi KPU dalam menjalankan tugasnya.
Di tengah dinamika politik yang terjadi, terungkap bahwa penetapan calon bupati di Yahukimo dilakukan dengan cara yang terkesan mengabaikan prosedur yang seharusnya diikuti. KPU Yahukimo, yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan penghitungan suara, diketahui melakukan tabulasi hasil pemilu secara manual yang mengabaikan hasil resmi yang seharusnya menjadi acuan, yakni hasil rekapitulasi suara yang sah. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas proses pemilu dan kepatuhan terhadap aturan yang ada.
Sesuai dengan regulasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, KPU wajib melaksanakan penghitungan suara dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Setiap tahapan, dari tingkat TPS hingga rekapitulasi di tingkat Kabupaten, seharusnya mengacu pada hasil yang tercatat secara sah dalam dokumen resmi seperti Form C1 dan C2, yang telah diverifikasi dan ditandatangani oleh saksi-saksi masing-masing pasangan calon. Namun, dalam kasus Pilkada Yahukimo, ditemukan adanya pelanggaran dalam hal ini. KPU dikabarkan mengabaikan hasil rekapitulasi suara yang sah dan memaksakan hasil tabulasi manual yang tidak sesuai dengan prosedur.
Fenomena ini membuka celah bagi dugaan penyimpangan dalam proses pemilu, yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap KPU dan sistem demokrasi secara keseluruhan. Keputusan untuk menetapkan calon bupati berdasarkan hasil tabulasi manual yang tidak sah bisa dianggap sebagai upaya manipulasi hasil pemilu atau penyalahgunaan wewenang, yang jelas bertentangan dengan semangat demokrasi.
Penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil adalah kunci utama untuk menjaga stabilitas politik dan sosial di Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, termasuk KPU, Bawaslu, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa setiap tahapan Pilkada dilakukan dengan transparansi penuh dan sesuai dengan aturan yang ada. Isu yang berkembang di Pilkada Yahukimo ini harus menjadi perhatian serius, karena jika dibiarkan, hal tersebut bisa merusak kredibilitas pemilu di masa mendatang.
Penetapan calon bupati yang dipaksakan oleh KPU Yahukimo tanpa memperhatikan hasil yang sah merupakan peristiwa yang memerlukan perhatian lebih lanjut, baik dari pihak pengawas pemilu, partai politik, maupun masyarakat. Apakah KPU Yahukimo benar-benar melanggar aturan ataukah ada alasan lain di balik keputusan tersebut? Ini adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang jelas dan tegas demi kepercayaan rakyat terhadap sistem pemilu di Indonesia.

Penetapan calon bupati Kabupaten Yahukimo berdasarkan hasil tabulasi manual yang dilakukan oleh KPU Yahukimo, namun dengan mengabaikan D-Hasil, perlu dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan prosedur yang berlaku dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
*1. Prinsip Keterbukaan dan Akuntabilitas dalam Pemilu*
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki kewajiban untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan Pemilu. Oleh karena itu, dalam penetapan hasil pemilu, KPU seharusnya mengacu pada proses yang terbuka dan hasil yang sah dan akurat berdasarkan data yang tercatat dalam form C1 (hasil rekapitulasi di tingkat TPS) dan C2 (hasil rekapitulasi di tingkat kecamatan atau kabupaten).
*2. Hasil D-Hasil dalam Proses Rekapitulasi Pemilu*
D-Hasil dalam konteks ini mungkin merujuk pada hasil akhir atau rekapitulasi hasil pemilu yang dilakukan dalam setiap tingkat penghitungan, seperti di tingkat kecamatan, kabupaten, atau provinsi. Setiap tahapan penghitungan hasil pemilu seharusnya berdasarkan pada dokumen resmi yang sah, yang telah diperiksa dan diverifikasi oleh KPU di setiap level. Jika ada ketidaksesuaian atau kesalahan dalam pengolahan hasil tabulasi manual yang mengabaikan D-Hasil, hal ini bisa menimbulkan masalah legalitas hasil pemilu.
*3. Penyimpangan dalam Proses Penetapan Hasil*
Jika KPU secara sepihak mengabaikan D-Hasil, itu bisa menimbulkan dugaan adanya penyimpangan atau pelanggaran prosedur yang telah ditetapkan. D-Hasil adalah hasil yang telah ditentukan melalui mekanisme penghitungan suara dan merupakan bagian integral dari tahapan rekapitulasi suara. Mengabaikan D-Hasil berarti mengabaikan hasil resmi yang telah diverifikasi pada level yang lebih tinggi dalam rangka menghindari adanya kesalahan atau manipulasi dalam penghitungan suara.
*4. Prosedur Hukum dan Pengawasan*
KPU juga terikat oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta peraturan-peraturan teknis lainnya yang mengatur mengenai prosedur rekapitulasi suara dan penetapan hasil pemilu. Setiap tindakan yang mengabaikan prosedur ini berpotensi untuk digugat atau dipertanyakan oleh pihak yang dirugikan, seperti peserta pemilu atau masyarakat. Selain itu, pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi sangat penting untuk memastikan agar tidak ada penyimpangan dalam proses rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu.
*5. Peran Partai Politik dan Kandidat dalam Proses Ini*
Dalam hal penetapan calon bupati berdasarkan hasil tabulasi manual, partai politik atau kandidat yang merasa dirugikan juga memiliki hak untuk mengajukan keberatan atau permohonan kepada KPU, Bawaslu, atau bahkan ke pengadilan apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam hasil pemilu. Sebagai contoh, jika D-Hasil yang seharusnya menjadi acuan dalam penetapan calon bupati diabaikan tanpa alasan yang sah, maka pihak yang dirugikan bisa menuntut transparansi dan akuntabilitas lebih lanjut.

*Kesimpulan*

Jika KPU menetapkan calon bupati Kabupaten Yahukimo berdasarkan hasil tabulasi manual sementara mengabaikan D-Hasil, maka hal ini berpotensi melanggar prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam pemilu. Keputusan ini bisa dipertanyakan secara hukum jika terbukti adanya penyimpangan dari prosedur yang berlaku, atau jika hasil yang digunakan tidak mencerminkan rekapitulasi suara yang sah dan valid. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa seluruh tahapan penghitungan suara dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku agar hasil pemilu dapat diterima dan sah secara hukum. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Tim JONES-YOMA menerima begitu saja atau bawa ke MK untuk mencari keadilan dan kebenar?
×
Berita Terbaru Update