Notification

×

Iklan

Iklan

Mencari Akar Penindasan Perempuan dan Dominasi Maskulinitas Di Papua

Desember 31, 2024 | Desember 31, 2024 WIB Last Updated 2024-12-31T10:42:23Z
 PAPUA PEGUNUNGAN, Suaralapago.News____Risna Hasanudin Mau melihat patriarki penindasan di Papua itu kita harus kebelakang dulu sejak kapan patriarki penindasan itu ada runut dari sejarah perkembangan masyarakat Papua itu sendiri.

Patriarki penindasan itu terjadi apa sebabnya mulai dari jaman bar-bar komunal sampai dengan saat ini imperialisme global dan neokolonialisme.

Bagaimana pran  atau kolaborasi Gender maskulin dan feminin apakah ada Penindasan atau tidak.
Jika penindasan di kehidupan komunal sampai feodalisme dan masa perbudakan itu benar ada di Papua apa faktor penyebab terjadinya Penindasan tersebut supaya kita temukan akar.

Kemudian berhubungan dengan kolaborasi maskulin dan feminim juga kita disandingkan hukum polaritas supaya kita temukan awal mula patriarki penindasan dan dominasi Maskulinitas itu terjadi.

Mulai komunal feodalisme, Perbudakan, neokolonialisme dan Imperialisme global sekarang.
Supaya Pran Gender maskulin dan feminim keseimbangan itu hilang mulai kapan.
Supaya kita bisa kontekstualisasi dengan femenime sesuai kondisi objektif femenime varian mana yang relevan di Papua.

Karena femenime itu lahir akibat kehilangan dan kegagalan pran atu kolaborasi gender menciptakan keseimbangan kehidupan yang setara maskulin dan feminim.

Bicara femenime varian banyak kalau bicara ekofemenisme cikal bakal hukum polaritas keseimbangan dan kesetaraan alam dan manusia.

Dimana fran fememin dan maskulin berhubungan dengan alam dimana kaki-kaki Berkuasa atas tanah dan perempuan memiliki Pran mengelola yang dikuasai laki-laki.
Di kampung masih berlaku tradisi komunal dan tidak ada Penindasan perempuan karena ada pembagian peran.

Bedah lagi di kota sudah dipengaruhi budaya populer luar penindasan Perempuan dominasi maskulinitas itu ada karena pengaruh Kapitalime memposisikan perempuan sebagai pekerja domestik.

Mungkin hal yang mungkin terlihat dari patriarki mungkin persoalan pembagian ahli waris tetapi hal ini berkaitan dengan hukum patrineal tentang tentang keturunan misalnya anak ikut marga laki-laki.

Yang memperkuat dominasi maskulinitas dan Patriarki ini juga adalah pengaruh sistem kepercayaan dan historis sejarah penciptaan manusia di taman Eden.

Artinya kita mulai lihat kebelakang dulu kemudian kita masuk kolonialisme, kapitalisme dan Imperialisme global sekarang.

Karena kolonialisme Belanda sebelum mendirikan perusahaan resminya Sistem Kepercayaan yaitu agama lebih dahulu taklukkan dan doktrinasi orang Papua dengan pembagian sending kristen protestan dan Katolik.

Coba baca sejarah Inji masuk kemudian kolonialisme Belanda menjadi jembatan kapitalisme dan Imperialisme hari ini.

Supaya kita bisa menentukan faktor-faktor dan bagaimana mana cara melawan penindasan terhadap perempuan itu.
Kalau penindasan perempuan di Papua itu terjadi setelah kolonialisme Belanda dan beralih ke Kolonialisme Indonesia mudah kita temukan.
Dimana penindasan perempuan Papua itu terjadi akibat apa dan bagaimana Perlawanan terhadap penindasan terbuat.

Karena jika saya melihat dan membaca sejarah masa Kolonialisme Belanda Perempuan Papua berperan aktif juga dalam dunia kerja.

Misalnya pembentukan Anggota Dewan New Guinea Raad ada perwakilan Perempuan dipilih melalui demokrasi ditetapkan pada tanggal 5 Apri 1961.

Hal yang perlu lihat lagi kebanyakan penindasan perempuan seperti kasus KDRT sampai dengan kasus Femisida dan tindakan sadisme lain terhadap perempuan Papua saat ini dominasi maskulinitas kehilangan Pran.

Salah satunya adalah seksisme dan diskriminasi berbasis gender karena perempuan diposisikan sebagai objek atau dengan kata lain pabrik manusia (alat produksi Manusia).
Hal ini berdampak pada kekerasan terhadap perempuan termasuk kasus Femisida karena orang Papua pronatalisme.

Pronatalisme ini yang berdampak pada KDRT sampai sadisme melahirkan kasus Femisida, kebanyakan laki-laki Papua pronatalisme memposisikan perempuan sebagai manusia kelas dua objek seks dan juga alat produksi Manusia.

Persoalan pekerjaan domestik itu jika kita melawan kapitalisme sebenarnya persoalan kemampuan secara fisik maupun non fisik juga tanggung jawab moral memenuhi kebutuhan bersama kembali ke kolaborasi dan pran masing-masing.

Ini Soal tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial ketiga sudah mengambil keputusan untuk menikah atau berkeluarga unrus demesik yang Subjektif.

Beberapa hari sebelum kasus Femisida oleh oknum TNI AU itu saya tulis ini. Penindasan perempuan karena pronatalisme di Papua. Lihat di dinding FB saya 
https://www.facebook.com/share/p/12BJHFfZXEw/
Setalah kasus Femisida terkemuka di publik saya menulis faktor patriarki Pronatalisme melahirkan kekerasan dan Femisida.
https://www.facebook.com/share/p/15rXAwd4Eb/, 
Walaupun ini dimedia sosial tetapi hampir 13 ribu orang yang dijangkau dan ini edukasi bersama di media sosial sekaligus membangun kesadaran kritis. 

Karena ini soal kemanusiaan sehingga kita tentunya punya prefektif yang sama tentang Penindasan Perempuan dan dominasi maskulinitas akibat kehilangan pran masing-masing maskulin maupun feminim.

Sebab kombinasi kedua gender dalam kehidupan sosial masyarakat sangat penting dalam memelihara kesetaraan dan keseimbangan dalam keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Jika kita bicara soal gender maskulin dan feminim masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab, hal berkaitan erat dengan hubungan alam semesta dan manusia yaitu hukum polaritas.

Bicara hukum polaritas maka tentunya tidak bisa lepas dengan kodrat maskulin dan feminim dalam interaksi sosial maupun kehidupan punya tugas dan tanggung jawab diberikan.

Untuk itu saya sempat menulis atau mengomentari tentang membangun gerakan perempuan revolusioner harus melihat banyak faktor.
Bangun gerakan perempuan harus tuntaskan dulu padangan seksisme dan dominasi maskulinitas toxic.
Beberapa faktor dan aspek secara historis maupun dinamika kekinian dilihat secara objektif.
Dimana dalam komentar saya mengatakan dengan judul membangun gerakan perempuan hilangkan dominasi maskulinitas toxic.

Mau membangun gerakan perempuan radikal di Papua banyak faktor yang diperhitungkan dan diimbangi dengan perkembangan masyarakat dan struktur sosial.

Karena faktor penindasan perempuan cara pandang rakyat berbeda dengan  perspektif gerakan akibat kolonialisme dan Kapitalisme tetapi kita sendiri juga menjadi penindas dimana dominasi maskulinitas 

Kita lihat perbedaan maskulin dan feminin dan kebanyakan maskulinitas toxic mendominasi dalam kehidupan sosial.
Ini akibat kurangnya edukasi tentang kolaborasi maskulin dan feminin yang seharusnya padu.

Interpretasi agama patriarkis yang menempatkan laki-laki sebagai superior.
Sejarah penciptaan Adam dan Hawa dalam agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam) menjadi Tradisi dan doktrin agama yang memperkuat peran laki-laki.

Faktor Psikologis,Sosiologis, Spiritual dan Faktor Ilmiah dilihat dominasi maskulinitas komoditas yang terkesan toxic menciptakan perbedaan.

Karena secara psikologis dominasi maskulinitas ini terjadi akibat kegagalan dalam mengembangkan kesadaran emosi dan empati terhadap peran masing-masing.

Yang terjadi secara kultur maskulinitas yang menekankan kekuatan dan dominasi dimana praktek stereotip peran gender yang membatasi ekspresi diri selin pengaruh lingkungan dan pendidikan.

Berbeda lagi secara Filosofis dan Spiritual
Konsep dualitas (maskulin-feminin, baik-buruk) dalam filsafat.

Apakah harus melampaui dualitas hukum polaritas menciptakan kebebasan ( MOSOKA) 
Hal kita bisa belajar dari filsafat berbicara tentang hukum polaritas tentang keseimbangan yin-yang dalam filsafat Timur kombinasi maskulin dan feminim.

Terlepas dari hukum polaritas konsep "Logos" (rasionalitas) vs "Eros" (emosi) dalam filsafat Yunani hal yang mungkin juga menjadi penting menciptakan keadilan dan kesetaraan.

Hal yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kajian psikologi tentang peran hormon dan struktur otak. 
Dimana perempuan lebih banyak menggunakan otak kanan sedangkan laki-laki menggunakan menggunakan otak kiri yang banyak digunakan.

Untuk melihat perbedaan dan perbedaan maskulin dan feminim, kembali melihat bagaimana teori evolusi tentang peran gender dalam masyarakat atau sejarah perkembangan masyarakat terutama kehidupan komunal.

Penelitian sosiologi tentang peran gender dalam masyarakat modern, kegagalan dan Ketidakseimbangan mengintegrasikan aspek maskulin dan feminin.

Selain itu Ketidakseimbangan antara rasionalitas dan emosi kegagalan mengembangkan kesadaran diri dan empati dalam konteks humanisme.

Pandangan tersebut sering dikaitkan dengan interpretasi agama dan budaya patriarkis. Namun, perlu diingat bahwa:

Interpretasi Agama dan kitab Suci tidak secara eksplisit menyatakan dominasi maskulinitas. Ayat-ayat seperti "Laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah" (Kejadian 1:27) menekankan kesetaraan, dimana peran Adam dan Hawa sebagai pasangan, bukan superior-inferior.

Hal ini juga melahirkan kritik Feminis Patriarki menggunakan agama untuk membenarkan dominasi.
Interpretasi maskulinitas hegemonik mengabaikan perspektif perempuan sehingga perlu reinterpretasi teks agama dengan lensa feminis.

Perspektif Teologis Allah tidak memiliki jenis kelamin (Yesaya 42:14, 46:3-4).
Penciptaan Adam dan Hawa menunjukkan kesatuan dan kesetaraan, peran laki-laki dan perempuan saling melengkapi.
Hal ini bisa dilihat The Bible and Feminism" oleh Katharine Doob Sakenfeld.

Feminism and Christianity" oleh Lisa, Isherwood Patriarchy and the Church" oleh Rosemary Radford Ruether.

Dominasi maskulinitas dan penindasan terhadap perempuan adalah hasil kompleks dari berbagai faktor yang saling terkait. Berikut beberapa alasan:

Faktor Sosial dan Budaya patriarki serta Sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan.
Stereotip peran gender, peran laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengasuh.

Kultur maskulinitas Nilai-nilai seperti kekuatan, agresi dan dominasi. Tradisi dan adat istiadat: Praktik-praktik yang memperkuat dominasi laki-laki.

Sejarah patriarki: Sistem sosial yang berkembang selama ribuan tahun ditambah lagi kolonialisme dan imperialisme global mempengaruhi penindasan terhadap perempuan menjadi manusia kelas dua dalam struktur sosial masyarakat.

Hal ini berdampak perbudakan Perempuan sebagai budak seksual masih ada sampai sekarang di Papua melanggengkan penyebaran penyakit sosial seperti HIV AIDS.

Interpretasi agama patriarkis dimana teks agama yang menempatkan laki-laki sebagai superior.
Dualisme konsep dualitas yang memisahkan maskulin dan feminin dan juga filosofi patriarkis Filsuf seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas.

Faktor Psikologis dilihat juga kegagalan mengembangkan empati, kurangnya pemahaman tentang perasaan perempuan dan kondisi objektif mereka hadapi.

Kegagalan mengintegrasikan aspek feminin dimana laki-laki  terkesan tidak menerima aspek feminin diri.Agresi dan kekerasan: Cara laki-laki mengekspresikan emosi.
Faktor Ekonomi dan Politik ketidaksetaraan ekonomi perempuan memiliki akses terbatas ke sumber daya.

Kekuasaan politik laki-laki mendominasi posisi kekuasaan berdampak pada kebijakan diskriminatif dimana kebijakan yang memperkuat dominasi laki-laki.

Untuk Mengatasi Dominasi Maskulinitas
1. Pendidikan kesetaraan gender.
2. Menghargai peran perempuan.
3. Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan.
4. Mengembangkan empati dan kesadaran diri.
5. Mempromosikan kebijakan kesetaraan gender.

Jadi kalau bicara Patriarki budaya sebenarnya yang korban bukan hanya perempuan tetapi laki-laki juga, sekalipun volumenya berbeda Perempuan banyak korban berlapis dari patriarki.

Perempuan itu penindasan berlapis sangat kompleks seperti sekarang akibat kolonialisme TPNPB dan TNI Polri yang banyak korban adalah perempuan.

Perempuan dan anak -anak dalam Pengungsian mengalami penderitaan yang cukup serius dan memprihatinkan.

Silahkan kawan-kawan kritik, coba gunakan bahasa yang rasional bukan emosional
×
Berita Terbaru Update