Nomor : 019 / SP-LBH-Papua / XII / 2024
PAPUA, Suaralapago.news - “Presiden Republik Indonesia Segera Hentikan Seluruh Aktifitas Proyeks Strategis Nasional Di Merauke Dan Mengelar Dialog Dengan Masyarakat Adat Sesuai Rekomendasi Komnas HAM Republik Indonesia Sebagai Bentuk Pemenuhan Asas Pelindungan Terhadap Hak Asasi Manusia”
Pada prinsipnya semua Proyek Strategis Nasional diseluruh wilayah Indonesia dimulai dari sabang sampai merauke dilakukan dengan melanggar ketentuan Hak Asasi Manusi. Fakta tersebut terlihat jelas dalam laporan berjudul DAMPAK PROYEK STRATEGIS NASIONAL TERHADAP HAK ASASI MANUSIA yang dirilis oleh Komnas HAM Republik Indonesia yang menyimpulkan bahwa Proyek Strategis Nasional berdampak pada Pelanggaran HAM yang disimpulkan kedalam 4 (empat) empat jenis pelanggaran HAM sebagai berikut :
1. Hak Sipil dan Politik (hak berekspresi, ha katas informasi, hak atas rasa aman, hak atas berpartisipasi, hak hidup dan ha katas keadilan);
2. Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Hak Atas Tanah, Hak Kepemilikan, Hak Atas Pekerjaan dan Hak Ata Tempat Tinggal);
3. Hak Kolektif (Hak Atas Lingkungan Hidup, Hak Atas Perdamaian dan Hak atas Pembangunan);
4. Hak Kelompok Rentan (Hak Anak, Perempuan, Masyarakat Adat, lansia dan lain-lain).
Atas dasar itu, Komnas HAM RI telah memberikan 7 (tujuh) rekomendasi kepada Pemerintah Republik Indonesia sebagai berikut :
1. Meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk PSN karena sangat eksklusif, menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran HAM yang terus berulang.
2. Melakukan evaluasi secara mendalam dan partisipatif atas PSN yang telah berjalan, dan melakukan penundaan atas PSN yang akan berjalan. Hal ini dilakukan sampai terdapat laporan yang komprehensif atas dampak-dampak PSN sebagai bahan bagi pemerintah dalam merumuskan langkah dan kebijakan tindak lanjut.
3. Mengevaluasi proses penentuan dan penetapan daftar program dan PSN, utamanya untuk memberikan kesempatan kepada para pihak, utamanya pihak terdampak, terlibat dalam memberikan masukan atas PSN.
4. Membangun mekanisme akuntabilitas dan pemulihan atas pelanggaran HAM sebagai dampak pembangunan PSN.
5. Menarik mobilisasi pasukan Polri dan TNI yang berlebihan dalam pengamanan PSN dan merumuskan ulang keterlibatan Polri dan TNI dalam PSN secara proporsional dan diperlukan, serta dibekali dengan pemahaman HAM yang baik dan memadai, bahwa Polri dan TNI bertugas melayani dan melindungi rakyat.
6. Memastikan bahwa semua proyek pemerintah termasuk PSN, baik dilakukan melalui APBN murni ataupun kerja sama dengan swasta atau masyarakat, adalah untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kepentingan kelompok atau kerabat. Hal ini sebagaimana pidato pertama Presiden RI Prabowo Subianto di dalam sidang MPR pada 20 Oktober 2024.
7. Memastikan pendekatan berbasis HAM dalam proses penyusunan agenda dan perencanaan pembangunan nasional, dalam hal ini Program Asta Cita Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.
Secara khususnya atas pengembangan Proyek Strategis Nasional mengunakan pendekatan Militer di Merauke yang ditolak oleh masyarakat adat suku Malind, Maklew, Khimaima dan Yei serta marga Gebze, Moiwend, Balagaize, Basikbasik, dan Kwipalo yang telah diadukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tanggal 23 Oktober 2024. Sebagai tindaklanjutnya, Komnas HAM RI mengelurakan Surat Nomor 976 / PM.00 / SPK.01 / XI / 2024, Perihal Permintaan Keterangan mengenai Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk Pengembangan Pangan dan Energi di Kabupaten Merauke yang ditujukan kepada : 1. Menteri Agraria dan Tata Ruang RI, 2. Menteri Kehutanan RI, 3. PJ Gubernur Papua Selatan dan 4. PJ Bupati Merauke tertanggal 18 November 2024 yang jawabannya hanya diketahui oleh Komnas HAM Republik Indonesia. Pada prinsipnya secara umum, 4 (empat) bentuk Pelanggaran HAM yang menjadi temuan Komnas HAM RI diatas itu jugalah yang terjadi dalam Proyek Strategis Nasional di Merauke.
Sebagai tanggapan atas Pengaduan Masyarakat Adat Papua dibagian Selatan itu, Prabianto Mukti Wibowo selaku Komisioner Komnas HAM bidang mediasi mengatakan bahwa masyarakat mempersoalkan proyek strategis nasional (PSN) food estate di Merauke yang sedang digarap Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, aduan itu berkaitan dengan kehadiran PSN menciderai hak asasi manusia (HAM) warga adat setempat khususnya tanah adatnya terutama masalah pengakuan wilayah adat yang digunakan untuk proyek PSN”. Prabianto menjelaskan, aduan tersebut dikarenakan proses perencanaan pembangungan PSN yang dari awal tidak melibatkan masyarakat setempat dan tidak menerapkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). “Artinya tidak menerapkan FPIC, (seharusnya) ada informasi awal dan prosedur awal dari masyarakat setempat. Tentu ini (PSN) sangat berpotensi untuk terjadinya pelanggaran hak-hak masyarakat adat setempat”.
Atas dasar itu maka Komnas HAM RI Desak Pemerintah Tunda PSN di Merauke. Untuk menindaklanjuti hal itu, Prabianto mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan penerapan prinsip FPIC dalam rencana maupun pelaksanaan pembangunan di seluruh provinsi Papua, termasuk PSN. Dia pun meminta agar lahan yang masih menjadi sengketa tidak digarap sebelum semua sengketa selesai dengan damai. “Kami meminta pemerintah pusat dan daerah untuk menunda pelaksanaan PSN yang masih menghadapi sengketa dan mendorong proses penyelesaian melalui dialog dan partisipasi khususnya bagi masyarakat terdampak” (Baca : https://www.merdeka.com/peristiwa/komnas-ham-minta-pemerintah-tunda-proyek-strategis-nasional-di-merauke-karena-bermasalah-261443-mvk.html).
Desakan Komnas HAM RI itu, ditanggapi oleh Wakil Menteri Dalam Negeri RI, Ribka Haluk sebagai berikut : pembangunan 2 juta hektar lumbung pangan atau food estate di Merauke, Papua Selatan, bertujuan untuk kebaikan masyarakat. Ribka menyebut food estate dijalankan untuk ketahanan pangan nasional dan pasti akan berdampak pada masyarakat setempat. Namun, dia tidak memungkiri bahwa ada masyarakat yang terdampak pembangunan food estate. Hal ini terjadi karena hak wilayah adat mereka berubah menjadi ladang tanam. Untuk mengatasi hal tersebut, Ribka mengatakan pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah akan membuka dialog dengan masyarakat setempat. "Kita sudah fasilitasi melalui gubernur, karena gubernur adalah perpanjangan pemerintah pusat di daerah. Saya pikir, sudah biasa lah. Puas atau tidak puas pasti berlanjut seperti itu. Tapi pengerjaannya sudah berjalan dan juga ada keterlibatan masyarakat adat di sana," imbuhnya. Ribka mengatakan banyak pemuda setempat justru mendapatkan manfaat dari terciptanya lapangan kerja dalam proyek food estate ini. "Dia juga dapatkan penghasilan, ada pendapatannya, dibayar kerja, dan seterusnya," imbuhnya. Ribka menegaskan bahwa pemerintah tidak serta-merta mengambil lahan untuk kelompok tertentu (Baca : https://nasional.kompas.com/read/2024/12/20/22495371/pemerintah-tegaskan-pembangunan-food-estate-di-papua-selatan-untuk-kebaikan).
Apabila dianalisi pernyataan Wamendagri terkait “NAMUN, DIA TIDAK MEMUNGKIRI BAHWA ADA MASYARAKAT YANG TERDAMPAK PEMBANGUNAN FOOD ESTATE. HAL INI TERJADI KARENA HAK WILAYAH ADAT MEREKA BERUBAH MENJADI LADANG TANAM. UNTUK MENGATASI HAL TERSEBUT, RIBKA MENGATAKAN PEMERINTAH TIDAK TINGGAL DIAM. PEMERINTAH AKAN MEMBUKA DIALOG DENGAN MASYARAKAT SETEMPAT” menunjukan bukti bahwa Pemerintah Pusat dalam mengembangkan PSN di Merauke tidak menjalankan tugas yang Konstitusi terkait “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4), Undang Undang Dasar 1945. Atas pernyataan Wamendagri diatas secara terang-terang melanggar ketentuan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” sebagaimana diatur pada Pasal 18b ayat (2), Undang Undang Dasar 1945 serta ketentuan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (3), Undang Undang Dasar 1945.
Selain itu, secara Hak Asasi Manusia juga menunjukan bahwa melalui keterangan Wamendagri jelas mengabaikan ketentuan “Pemerintah Pusat tidak mau menjalankan kewajibannya terkait Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah” sebagaimana diatur pada Pasal 8, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta jelas-jelas melanggar melanggar ketentuan “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman” sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (2), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pernyataan Wamendagri diatas terkesan mengabaikan ketentuan “Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan” sebagaimana diatur pada Pasal 43 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Prubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Sesuai dengan pernyataan Wamendagri terkait “PEMERINTAH AKAN MEMBUKA DIALOG DENGAN MASYARAKAT SETEMPAT. "KITA SUDAH FASILITASI MELALUI GUBERNUR, KARENA GUBERNUR ADALAH PERPANJANGAN PEMERINTAH PUSAT DI DAERAH. SAYA PIKIR, SUDAH BIASA LAH. PUAS ATAU TIDAK PUAS PASTI BERLANJUT SEPERTI ITU” secara langsung menunjukan bahwa Wamendagri sendiri mengakui terkait pengembangan Proyek Strategis Nasional di Merauke jelas-jelas menunjukan bahwa Pemerintah Pusat melanggar ketentuan “Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya. Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan” sebagaimana diatur pada Pasal 43 ayat (4) dan ayat (5), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Prubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Selain itu, melanggar ketentuan “Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat” sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Prubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Semestinya Wamendagri sebagai Pejabat Publik tidak harus mengeluarkan penyataan demikian karena terkesan tidak menghargai eksistensi Komnas HAM Republik Indonesia sebagai Lembaga Tinggi Negara yang dibentuk khusus untuk melakukan tugas “mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan” sesuai Pasal 75, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan uraian diatas dengan memperhatian fakta kesimpulan Komnas HAM Republik Indonesia menyimpulkan bahwa Proyek Strategis Nasional berdampak pada 4 (empat) bentuk Pelanggaran HAM diatas dan melihat pernyataan tanggapan Wamendagri yang jelas-jelas bertentangan dengan HAM sehingga jika Pemerintah Pusat tidak mengindahkan Desakan komnas HAM RI terkait Menghentikan Proyek Strategis Nasional di Merauke secara langsung menunjukan bahwa Wamendagri sebagai Pejabat Publik dalam mendukung PSN di Merauke dengan pernyataan “PEMERINTAH TEGASKAN PEMBANGUNAN "FOOD ESTATE" DI PAPUA SELATAN UNTUK KEBAIKAN MASYARAKAT” telah melanggar ketentuan Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan asas pelindungan terhadap hak asasi manusia sebagimana diatur pad Pasal 5 huruf b, Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Atministrasi Pemerintahan. Sesuai dengan kesimpulan tersebut maka kami Lembaga Bantuan Hukum Papua dan Lembaga Bantuan Hukum Papua Pos Merauke sebagai Kuasa Hukum Masyarakat Hukum Adat Malind, Maklew, Khimaima, Yei, serta marga Gebze, Moiwend, Balagaize, Basikbasik, dan Kwipalo menegaskan :
1. Presiden Republik Indonesia Segera Hentikan Seluruh Aktifitas Proyeks Strategis Nasional Di Merauke Dan Mengelar Dialog Dengan Masyarakat Adat Sesuai Rekomendasi Komnas HAM RI Sebagai Bentuk Pemenuhan Asas Pelindungan Terhadap Hak Asasi Manusia;
2. Mentri Pertahanan Republik Indonesia Segera Hentikan Seluruh Aktifitas Proyeks Strategis Nasional Di Merauke Dan Mengelar Dialog Dengan Masyarakat Adat Sesuai Rekomendasi Komnas HAM RI Sebagai Bentuk Pemenuhan Asas Pelindungan Terhadap Hak Asasi Manusia;
3. Mentri Pertanian Republik Indonesia Hentikan Seluruh Aktifitas Proyeks Strategis Nasional Di Merauke Dan Mengelar Dialog Dengan Masyarakat Adat Sesuai Rekomendasi Komnas HAM RI Sebagai Bentuk Pemenuhan Asas Pelindungan Terhadap Hak Asasi Manusia;
4. Mentri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Wajib Memastikan Pemerintah Republik Indonesia Hentikan Seluruh Aktifitas Proyeks Strategis Nasional Di Merauke Dan Mengelar Dialog Dengan Masyarakat Adat Sesuai Rekomendasi Komnas HAM RI Sebagai Bentuk Pemenuhan Asas Pelindungan Terhadap Hak Asasi Manusia;
5. Wamendagri Segera Cabut Pernyataan PEMERINTAH TEGASKAN PEMBANGUNAN "FOOD ESTATE" DI PAPUA SELATAN UNTUK KEBAIKAN MASYARAKAT Yang Bertentangan Dengan Asas Pelindungan Terhadap Hak Asasi Manusia;
6. Wamendagri Segera Menyatakan Permohonan Maaf Kepada Masyarakat Adat Marind Maklew, Khimaima, Yei Yang Menjadi Korban Dalam Pengembangan Proyek Strategis Nasional Di Merauke;
7. Ombudsmen Republik Indonesia Segera Mengawasi Pemerintah Republik Indonesia Dalam Melakukan Rekomendasai Komnas HAM RI Terkait Proyeks Strategis Nasional Di Merauke Sesuai Komitmen Asas Pelindungan Terhadap Hak Asasi Manusia;
Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Jayapura, 22 Desember 2024
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum Papua
Emanuel Gobay, S.H.,MH
(Direktur)