Notification

×

Iklan

Iklan

Kepresidenan Trum Menciptakan Gejolak Besar di seluruh Dunia

Senin, Maret 03, 2025 | 22:48 WIB Last Updated 2025-03-03T14:10:37Z
Foto Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS) Trump 

Emil E Wakei 
Redaksi Sosialis - Senin, 03 Maret 2025, 19: 26 WP00

Ini adalah bagian pertama dari tiga artikel yang membahas perspektif dunia di bawah kepresidenan Trump yang kedua. Bagian pertama memaparkan gejolak besar dalam hubungan internasional. Bagian kedua membahas imperialisme AS di bawah Trump

Seperti pengumuman di dalam pesawat: “Para penumpang, harap tetap duduk dan kenakan sabuk pengaman, karena kita sedang memasuki zona turbulensi.”

Baru satu minggu sejak Trump mulai menjabat. Baru beberapa minggu sejak terpilih pada November, dan keadaan dunia sudah berubah secara drastis.

Dalam waktu singkat, kita sudah melihat berbagai tindakan Trump—mulai dari gencatan senjata di Gaza, ancaman serangan militer terhadap Denmark (anggota NATO dan sekutu AS) dan Panama. Ada juga gagasan bahwa Kanada seharusnya menjadi negara bagian ke-51 AS, yang berarti aneksasi terhadap negara tetangga AS di utara.

Dan itu baru sebagian kecil saja. Yang jelas, perubahan di dunia—baik dalam hubungan internasional, ekonomi, maupun politik—berjalan semakin cepat. Dan jelas dampaknya pun terasa dalam kesadaran rakyat.

Tentu saja, Trump bukanlah penyebab utama semua ini. Ia lebih merupakan gejala dari proses-proses yang lebih mendalam. Namun, di saat yang sama, kehadirannya juga menjadi faktor yang mempercepat alur peristiwa dengan sangat drastis. Hal itu sama sekali tidak bisa disangkal.

Selain berbagai peristiwa yang dipicu oleh tindakan Trump, dalam beberapa minggu terakhir kita juga melihat sejumlah peristiwa lainnya: keruntuhan pemerintahan di Prancis, Jerman, dan Kanada. Pemilu di Rumania juga dibatalkan—dalam situasi biasa, ini akan menjadi berita besar, tetapi sekarang justru tenggelam di tengah kejadian-kejadian lain yang lebih besar.

Kemarin, pasar saham teknologi di AS anjlok. Perusahaan teknologi Nvidia kehilangan lebih dari 600 miliar dolar dalam satu hari—kejatuhan terbesar dalam sejarah jika dilihat dari jumlah uang yang hilang dalam sehari.

Banyak dari kejadian ini memang luar biasa dan sulit dipercaya.

Contohnya, Trump menelepon Perdana Menteri Denmark, Frederiksen, untuk membahas ambisinya menguasai Greenland. Percakapan itu ternyata tidak berjalan baik. Menurut Financial Times, yang mengutip sumber dari Denmark, Frederiksen mengaku terkejut dan mereka baru sadar bahwa Trump benar-benar serius dengan rencananya!

Inilah yang perlu dipikirkan. Dengan gaya Trump, orang mungkin menganggap ucapannya hanya omong kosong atau sekadar taktik awal dalam negosiasi. Tapi dia bukan sekadar influencer di media sosial—dia adalah Presiden Amerika Serikat, negara imperialis paling kuat di dunia. Jadi, meskipun cara bicaranya sering berlebihan, setiap kata yang ia ucapkan tetap perlu diperhatikan dengan serius.

Seorang komentator borjuis yang dikutip The New York Times berkata, “Jangan memahami ucapan Trump secara harfiah, tapi tetap harus menganggapnya serius.”

Seolah semuanya belum cukup, kemarin Trump kembali berseteru dengan Kolombia. Meskipun tidak berlangsung lama, kejadian ini mengungkap banyak hal. Entah apa sebabnya, pukul empat pagi, Presiden Kolombia, Petro, mengunggah cuitan yang memprotes perlakuan buruk terhadap migran Kolombia yang dideportasi oleh Amerika Serikat. Bagi Trump, ini adalah bagian dari pertunjukan politik yang digelarnya. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya tegas dalam mendeportasi imigran, dengan memperlakukan mereka seperti penjahat, yang harus diborgol dan dirantai sebelum dikirim kembali.

Presiden Kolombia, Petro, memprotes dan menolak mengizinkan dua pesawat militer AS yang membawa migran Kolombia mendarat di negaranya. Salah satu pesawat bahkan sudah berada di udara. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Trump segera menulis di media sosial, menyebut bahwa “presiden sosialis Kolombia, yang sudah tidak populer di negaranya sendiri,” menolak pesawat-pesawat itu. Sebagai balasan, Trump akan memberlakukan tarif 25 persen untuk semua barang impor dari Kolombia, yang berlaku seketika.

Trump juga mengumumkan pencabutan visa dan izin masuk ke AS bagi Presiden Petro, jajaran pemerintahannya, serta keluarga mereka. Dan juga para pendukungnya! Ini mencapai jutaan orang!

Trump melontarkan berbagai ancaman lainnya, tapi ini bukan sekadar gertakan—ia langsung bertindak. Keesokan harinya, sekitar 1.500 orang yang dijadwalkan mengurus visa di Kedutaan Besar AS di Bogota menerima pesan bahwa janji temu mereka telah dibatalkan.

Petro langsung bereaksi, menyebut tindakan itu tidak dapat diterima dan mengumumkan bahwa Kolombia akan menerapkan tarif balasan untuk semua impor dari AS. Tak hanya itu, ia juga menulis pernyataan panjang di media sosial. Saya tidak tahu apakah kalian sudah membacanya, tapi dalam unggahan itu, ia menyinggung kisah Sacco dan Vanzetti [anarkis Italia yang dieksekusi di AS], menyebut Trump sebagai “tuan budak kulit putih,” dan menegaskan bahwa ia tidak akan pernah berjabat tangan dengannya.

Namun, pada akhirnya, Petro terpaksa menarik kembali keputusannya. Sementara itu, Trump kembali menulis di media sosial, menyombongkan bahwa ia telah memberi Petro pelajaran dan bahwa “Amerika kembali dihormati.”

The New York Times menerbitkan sebuah artikel yang membahas bentrokan ini. Judulnya, “Di Balik Ketegangan Kolombia: Memetakan Taktik Eskalasi Cepat Trump”, dan paragraf pembukanya berbunyi:

“Tidak ada pertemuan di Ruang Kendali (Situation Room) atau panggilan diam-diam untuk meredakan ketegangan dengan sekutu. Hanya ancaman, balasan ancaman, penyerahan, dan isyarat tentang bagaimana presiden menangani Greenland dan Panama.”

Chas Freeman, mantan duta besar AS, memberikan pandangan menarik tentang Trump. Menurutnya, Trump adalah seorang pebisnis yang tidak memahami—dan tidak peduli—terhadap norma-norma diplomasi serta hubungan antarnegara, termasuk segala formalitas dan protokolnya. Freeman juga menekankan bahwa Trump bukan sekadar pebisnis biasa. Ia berasal dari dunia real estate New York—sebuah industri yang hampir tidak mengenal etika, di mana permainan kasar, intimidasi, dan pengkhianatan adalah hal yang lumrah.

Tentu saja, itulah ciri khas Trump. Dan sekarang, ia memimpin Amerika Serikat, yang tentu saja berdampak besar. Banyak tindakannya terlihat tidak terduga, tetapi sebenarnya ada pola di balik semua itu. Inilah alasan mengapa kita perlu memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.

Perang Trump melawan ‘deep state’

Trump merasa bahwa selama masa kepresidenannya yang pertama, ia berusaha menyeimbangkan berbagai faksi dalam partainya dan bekerja seturut aturan negara. Namun, menurutnya, justru karena itu, langkah-langkahnya menjadi lambat, gerakannya dibatasi, dan agenda utamanya terhalang oleh apa yang ia sebut sebagai “deep state” atau “negara bayangan.” Ada kebenaran dalam istilah ini.

Namun kini, posisinya jauh lebih kuat dibandingkan saat pertama kali menjabat. Trump hampir memiliki kendali penuh atas Partai Republik, bahkan lebih besar dibandingkan tahun 2016.

Kini, kekuatan politiknya jauh lebih besar, dan ia semakin tidak mau berkompromi atau membiarkan pihak lain mengendalikan kebijakannya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai langkah yang diambilnya dalam sepekan terakhir.

Pada hari Rabu, sejumlah pejabat Dewan Keamanan Nasional dipulangkan—sebagian diberi cuti, sementara lainnya diskors. Mereka adalah para penasihat pemerintah dalam isu-isu seperti Iran, Korea Utara, Ukraina, serta situasi di Timur Tengah dan berbagai kebijakan strategis lainnya. Keputusan ini diambil begitu cepat sehingga, menurut The New York Times, beberapa dari mereka bahkan tidak bisa keluar dari gedung karena akses kartu identitas mereka sudah dinonaktifkan sebelum mereka resmi diberitahu bahwa mereka diberhentikan.

Dan lalu, pada hari Senin, Presiden Trump menandatangani Perintah Presiden yang menangguhkan seluruh bantuan luar negeri selama 90 hari dan menunggu tinjauan menyeluruh. Semua bantuan luar negeri dihentikan, dan para pekerja di LSM di seluruh dunia diberi instruksi tegas: “Jangan mengeluarkan satu sen pun hingga ada pemberitahuan lebih lanjut.” Keputusan ini memicu kepanikan besar di Ukraina, terutama terkait apakah kebijakan ini akan berdampak pada bantuan militer. Perdebatan terus berlangsung mengenai hal tersebut.

Dalam setiap kebijakan ini, Trump menyatakan bahwa langkah-langkah tersebut diambil untuk memastikan semua pihak sejalan dengan kebijakan yang ia tetapkan. Ia juga menangguhkan seluruh program DEI (keragaman, kesetaraan, dan inklusi). Tak hanya itu, ia juga memerintahkan para pegawai negeri untuk melaporkan rekan mereka jika ada yang masih mencoba mempertahankan kebijakan semacam itu, meskipun telah dilarang. Sebuah alamat email rahasia bahkan telah dibuat agar orang-orang dapat melaporkan rekan mereka secara langsung.

Trump sedang berperang melawan tatanan yang ada dan apa yang ia anggap sebagai “negara bayangan.” Namun, bukan berarti dia akan selalu menang, karena negara kapitalis memiliki kekuatan yang sangat besar. Terlepas dari hasil akhirnya, ada satu hal yang jelas—Trump telah memutuskan untuk melawan dan mendorong agenda politiknya dengan cara apapun.

Kita sedang menghadapi perubahan besar dalam situasi dunia, yang membawa dampak penting.

Kemenangan Trump dalam pemilu—yang baru terjadi dua bulan lalu, tapi kini terasa lama—merupakan perubahan besar dengan sendirinya. Kelas penguasa dan tatanan politik AS telah melakukan berbagai upaya untuk menggagalkan kemenangannya. Namun, Trump tetap berhasil meraih kemenangan yang sangat meyakinkan.

Apa artinya? Kita dapat saksikan kalangan liberal, media, dan apa-yang-disebut kaum kiri menyuarakan kekhawatiran bahwa kemenangan Trump menandakan semakin kuatnya politik sayap kanan di Amerika Serikat dan merupakan bagian dari tren global menuju konservatisme.

Namun, argumen ini sebenarnya tidak menjelaskan apa pun. Jika kita menerimanya, apakah itu berarti Biden adalah sayap kiri? Itulah kesan yang muncul. Mari lihat kebijakan luar negeri. Trump justru dianggap kandidat pendukung perdamaian, sementara Biden lebih mendukung perang. Isu ini memengaruhi hasil pemilu, terutama di daerah dengan banyak pemilih Muslim dan Arab.

Memang ada elemen-elemen reaksioner yang mendukung Trump, tetapi itu dengan sendirinya tidak menjelaskan kemenangannya. Misalnya, di beberapa negara bagian di mana Trump menang atau memperoleh lebih banyak suara, pemilih juga mendukung kebijakan yang menjamin hak aborsi dalam undang-undang negara bagian. Salah satu contohnya adalah Florida, di mana suara untuk hak aborsi bahkan lebih tinggi daripada perolehan suara Harris, meskipun tidak cukup untuk memenuhi ambang batas yang ditetapkan.

Seperti yang telah dijelaskan—dan saya yakin ini tepat—kemenangan Trump terutama disebabkan oleh kemampuannya dalam memahami, menjangkau, dan memanfaatkan sentimen anti-status-quo yang mendalam dan luas dalam masyarakat Amerika Serikat.

Sentimen ini juga ada di banyak negara kapitalis maju lainnya, meskipun dengan bentuk yang berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah reaksi publik terhadap pembunuhan CEO United Healthcare oleh Luigi Mangione. Peristiwa ini sudah cukup mengejutkan, tetapi yang lebih menarik adalah bagaimana masyarakat meresponsnya—bukan dengan bersimpati kepada sang CEO, melainkan kepada Mangione, yang justru mendapat pemahaman dan dukungan dari banyak orang.

Mangione kini dipandang sebagai pahlawan rakyat oleh banyak orang. Dukungan terhadapnya tidak hanya datang dari kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai sayap kiri, tetapi juga dari banyak konservatif dan pendukung Partai Republik, termasuk para pendukung Trump. Ini yang menjadi masalah signifikan.

Ini adalah fenomena yang cukup unik, bukan? Trump memanfaatkan gelombang ketidakpuasan terhadap tatanan politik. Saat ini, ada krisis legitimasi terhadap semua institusi borjuis—banyak orang marah terhadap perusahaan besar, politisi, dan pemerintah. Namun yang menarik, Trump sendiri adalah seorang miliarder, sesuatu yang diketahui semua orang. Bahkan, ia dikelilingi oleh orang-orang kaya lainnya.

Fenomena ini merupakan cerminan sentimen anti-status-quo yang sangat penuh dengan kebingungan. Namun, tetap saja, ini adalah bagian dari ekspresi ketidakpuasan yang nyata. Penyebabnya juga cukup jelas—baik di Amerika Serikat maupun Eropa, kaum kiri telah sepenuhnya gagal memanfaatkan momentum ini dan merespons keresahan masyarakat.

Kita telah melewati periode di mana tokoh-tokoh dan partai-partai kiri anti-status-quo sempat mengalami kebangkitan di Eropa dan Amerika, terutama setelah krisis 2008 dan gelombang besar protes anti-penghematan pada 2011. Podemos, Syriza, Mélenchon, Corbyn, dan Sanders—semuanya pada akhirnya gagal. Kebangkrutan gagasan reformis mereka ditunjukkan dalam praktik.

Kasus paling mencolok adalah pemerintahan Syriza pada 2015, serta keputusan Bernie Sanders mendukung Hillary Clinton pada 2016. Dengan menyerah pada tekanan, mereka justru membuka ruang bagi sosok seperti Trump untuk mengambil alih momentum.

Hubungan Internasional

Apa langkah Trump selanjutnya? Saya rasa bahkan dia sendiri tidak tahu.

Dalam pidato pelantikannya, dia berkata, “Kita akan melakukan hal-hal yang mengejutkan banyak orang.” Dan benar saja, banyak yang terkejut—termasuk saya.

Presiden Atlantic Council, lembaga think tank sayap kanan, Fred Kempe, menyatakan bahwa Trump “adalah produk dan penggerak” era baru. Era baru ini, menurutnya, akan “ditandai dengan lebih banyak intervensi pemerintah, berkurangnya kerja sama global, meningkatnya merkantilisme, melemahnya perdagangan bebas, dan semakin dominannya kekuatan besar di panggung dunia.”

Cara Trump bersikap menunjukkan sikap dominasi khas negara besar—seolah ingin menegaskan siapa yang berkuasa. Hal ini terlihat jelas dari caranya memperlakukan Petro.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kepribadian individu berperan besar dalam sejarah. Materialisme historis tidak menolak hal itu—justru sejalan dengannya.

Di sisi lain, Trump juga merupakan cerminan sekaligus perwujudan dari perubahan besar dalam hubungan internasional, politik global, dan krisis kapitalisme yang perlu kita jelaskan.

Kita telah menjelaskan tren-tren mendasar ini dalam dokumen perspektif dunia 2023, manifesto kita, serta berbagai artikel dan diskusi mengenai dinamika global dan hubungan internasional. Kita telah memahami bahwa kondisi dunia saat ini dipengaruhi oleh:

a) Pengaruh imperialisme AS yang, secara relatif, mulai melemah.

b) Kebangkitan kekuatan imperialisme baru yang lebih muda dan dinamis, seperti China, meskipun mereka juga mulai menghadapi batasan tertentu. Rusia juga termasuk dalam kategori ini, meskipun dengan dinamika yang berbeda.

c) Tren-tren ini memberi ruang bagi sejumlah kekuatan menengah untuk bergerak lebih mandiri, dan bermain di dua kaki di antara blok-blok kekuatan besar. Contohnya bisa dilihat dalam kebijakan Turki, Arab Saudi, India, dan beberapa negara lainnya.

Kita telah membahas menurunnya dominasi imperialisme AS secara relatif serta kebangkitan China yang mulai menantangnya dalam perebutan pengaruh global. Namun, ada satu perkembangan lain yang belum banyak kita bahas, tetapi kini menjadi faktor kunci dalam dinamika global, yakni krisis jangka panjang kapitalisme di Eropa.

Menurut saya, kerangka umum ini memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang arah kebijakan luar negeri Trump.

Ada perbedaan mendasar antara kebijakan luar negeri Trump dan Biden. Kebijakan Biden didasarkan pada penolakannya untuk menerima limit kekuatan AS. Karena itu, Biden tetap ngotot mempertahankan dominasi AS di seluruh dunia.

Selama tiga dekade setelah runtuhnya Uni Soviet, AS menikmati dominasi global, tetapi situasinya kini telah berubah.

Perubahan ini tampak jelas dalam perang di Ukraina. AS berharap bisa mengalahkan Rusia dan melemahkannya hingga tak lagi mampu melancarkan agresi atau menentang kepentingan Washington. Di awal perang, Biden melakukan kunjungan ke Polandia dan secara terbuka menyatakan bahwa salah satu tujuan perang Ukraina adalah mengganti pemerintahan di Moskow.

Situasi serupa terjadi di Timur Tengah, di mana Biden pada dasarnya memberi Netanyahu cek kosong dengan semua konsekuensi yang mengalir darinya. Meskipun beberapa konsekuensinya justru merugikan kepentingan AS di kawasan tersebut.

Di sisi lain, Trump tampaknya lebih fokus pada mempertahankan kepentingan keamanan nasional AS. Baginya, AS seharusnya memperkuat ranah pengaruhnya sendiri, yang terutama di wilayah terdekatnya, di Amerika Utara. AS seharusnya memperkuat ini daripada membuang banyak uang dan tenaga untuk berperang di tempat-tempat yang jauh yang tidak terlalu berpengaruh bagi kepentingan negaranya.

Dalam konferensi pers sebelum pelantikannya, Trump sempat menyinggung soal Greenland, Terusan Panama, Kanada, dan Meksiko.

Sebagai bagian dari upayanya memperkuat posisi AS dan memprioritaskan kepentingan nasional, ia ingin menghentikan konflik di Timur Tengah dan Ukraina. Langkah ini juga berpotensi mendekatkan Rusia ke AS sekaligus menjauhkannya dari China.

Menurut pandangannya, strategi ini akan memberi kesempatan bagi AS untuk lebih fokus menghadapi ancaman terbesar terhadap dominasinya di dunia, yaitu China. Jika dilihat dari sudut kepentingan kelas penguasa AS secara umum, pendekatan ini tampaknya lebih logis dibanding kebijakan Biden.

Dalam wawancara yang dilakukan Gideon Rachman dari Financial Times—seorang jurnalis berhaluan liberal—dengan Dan Caldwell, seorang penasihat dalam tim transisi Pentagon Trump, Caldwell menyampaikan beberapa hal menarik. Salah satunya, ia menekankan bahwa dirinya adalah seorang veteran perang yang pernah bertugas di Irak. Sosok seperti ini cukup banyak—mantan tentara yang, setelah mengalami langsung intervensi militer AS, mulai terpolitisasi. Banyak dari mereka kini berada di lingkaran pendukung dan penasihat Trump.

Dan Caldwell menyebutkan bahwa AS telah menyebabkan kematian “hingga satu juta warga Arab, Irak, dan Suriah” serta “lebih dari 4.000 tentara Amerika yang gugur. Ribuan lainnya yang bekerja sebagai kontraktor juga kehilangan nyawa.” Dia juga menekankan bahwa “biaya yang dikeluarkan sangat besar, mencapai lebih dari $2 triliun dan terus bertambah karena Perang Irak masih berlanjut.” Dari situ, ia menarik kesimpulan bahwa “kebijakan luar negeri ini, menurut saya, tidak bisa diklaim dengan yakin telah membuat AS lebih aman, dan bahkan bisa dibilang tidak membuat dunia jadi lebih aman atau stabil.”

Maka dari itu, ia menegaskan bahwa AS sudah seharusnya tidak lagi meneruskan kebijakan tersebut. AS perlu lebih memprioritaskan kepentingan keamanan nasionalnya yang paling dasar. Gideon Rachman, seorang liberal, dengan rasa khawatir langsung bertanya, “tapi bagaimana dengan Ukraina?”

Trump pernah menyampaikan bahwa perang di Ukraina seharusnya tidak pernah terjadi. Dia juga menegaskan bahwa Zelensky seharusnya tidak memutuskan untuk berperang, mengingat Rusia memiliki jumlah tank yang jauh lebih besar daripada Ukraina. Dari sini, kita bisa menangkap pola pikir Trump: “Jangan pernah mencoba berkonflik dengan lawan yang jauh lebih kuat.” Pendekatannya adalah memahami dan mengakui perbedaan kekuatan antara kedua belah pihak.

Kembali ke Dan Caldwell. Saat ditanya tentang Ukraina, ia menyatakan, “saya akan menjawab pertanyaan Anda dengan jelas, bukan menghindar—perang ini adalah tragedi. Tapi bagi Amerika Serikat, apakah Rusia menguasai Donbas atau Krimea sebenarnya bukanlah kepentingan yang benar-benar krusial bagi kita.”

Trump juga menyampaikan pandangan serupa: menurutnya, perang di Ukraina seharusnya tidak pernah terjadi karena dipicu oleh provokasi NATO terhadap Rusia. Dia juga mengakui bahwa Rusia memiliki kepentingan keamanan nasional di Ukraina, yang menurutnya bisa dimengerti.

Dan Caldwell mengungkapkannya dengan cara yang sederhana: AS perlu memahami bahwa ada batasan dalam tindakan yang bisa mereka ambil, dan ada hal-hal yang berada di luar kemampuan atau kendali mereka.

“Menurut saya, Amerika Serikat harus berupaya mempertahankan posisinya sebagai negara terkuat di dunia. Tapi, bagi saya, itu berbeda dengan berusaha menguasai segalanya. Mencoba menjadi penguasa tunggal itu tidak sama dengan menjadi negara yang paling kuat… Saya tidak mendukung atau menerima kemunduran Amerika. Malah sebaliknya, saya percaya kita perlu mengambil langkah-langkah untuk menghentikan kemunduran itu. Dan menurut saya, ambisi kita untuk menjadi penguasa tunggal justru telah membuat kita semakin lemah sebagai sebuah negara.”

Pandangan tersebut cukup menarik dan membantu kita memahami cara Trump memandang kebijakan luar negeri. Ini memiliki implikasi tersendiri. Ini menunjukkan bahwa AS memiliki kepentingan keamanan nasionalnya sendiri dan wilayah pengaruhnya sendiri. Namun, hal itu juga berarti kekuatan lain pun memiliki kepentingan dan wilayah pengaruh mereka sendiri. Oleh karena itu, perlu ada dialog dan kesepakatan yang dibangun di antara semua pihak.

Hal ini tercermin dalam prinsip Trump, “perdamaian melalui kekuatan.” Pendekatan ini akan membawa situasi dunia lebih dekat ke kondisi yang ada sebelum Perang Dunia I, di mana berbagai kekuatan besar bersaing untuk membagi-bagi dunia. Ini memiliki implikasi yang sangat penting, tidak hanya bagi Ukraina, di mana Trump ingin menarik AS keluar darinya, tetapi juga, menurut saya, bagi posisi Taiwan.

Pertanyaan yang jelas muncul adalah, apakah membela Taiwan dari China benar-benar sejalan dengan kepentingan nasional AS? Pada Juli tahun lalu, Trump sudah menyatakan bahwa Taiwan terletak 9.500 mil jauhnya dari AS, sementara hanya berjarak 68 mil dari China. Ia juga menyoroti biaya besar yang dikeluarkan AS tanpa mendapatkan keuntungan apa pun sebagai imbalannya.

Dalam wawancara yang saya sebutkan, Dan Caldwell berpendapat bahwa AS sebaiknya tidak memberikan komitmen keamanan apapun kepada Taiwan. Ia menyarankan agar AS tidak memasok senjata canggih, melainkan lebih fokus pada pengiriman drone murah dan sistem pertahanan udara yang dapat membantu Taiwan menghalangi upaya China untuk menguasainya.

Menurut Trump, tidak diragukan lagi bahwa China adalah pesaing utama AS di dunia. Namun, itu bukan berarti AS harus berkomitmen untuk berperang dengan China demi mempertahankan Taiwan.

Bagaimana Xi Jinping akan menafsirkan kekalahan NATO dalam perang di Ukraina? Kemungkinan besar, ia akan melihatnya sebagai bukti bahwa kekuatan AS memiliki batas.

Di dalam kubu Trump sendiri, terdapat berbagai pandangan mengenai China. Ada yang memandangnya sebagai pesaing ekonomi utama, sementara yang lain melihatnya sudah sebagai musuh militer.

Inilah beberapa faktor yang menentukan kebijakan luar negeri Trump, terutama karena ia lebih berpikir sebagai pebisnis. Itulah sebabnya ia lebih mengandalkan tekanan ekonomi daripada intervensi militer. Hal ini terlihat dalam perselisihannya dengan Kolombia—bukannya mengancam dengan kekuatan militer atau mendukung kudeta, ia justru menekan Kolombia lewat ancaman tarif dan sanksi ekonomi, memanfaatkan kekuatan ekonomi AS untuk mencapai tujuannya.

Situasi serupa terjadi dalam perselisihan dengan Denmark mengenai Greenland. Meskipun Trump tidak sepenuhnya menutup opsi tindakan militer, ia lebih menyoroti rencana pembelian Greenland dan menekan Denmark dengan ancaman tarif balasan.

Sebagai pemimpin kekuatan imperialis terbesar di dunia, Trump tetap menjalankan kebijakan yang bersifat imperialis. Namun, tidak seperti Biden, ia menyadari bahwa AS bukan satu-satunya kekuatan global dan bahwa pengaruhnya memiliki batas tertentu.

Tim Redaksi  : Suaralapagonews.com 
Sumber berita :fb

×
Berita Terbaru Update